Jumat, 14 Maret 2014

dua-duanya kulepaskan

Suatu hari, seorang bapak tua hendak menumpang bus. Pada saat ia menginjakkan kakinya ke tangga, salah satu sepatunya terlepas dan jatuh ke jalan.

Lalu pintu tertutup dan bus mulai bergerak, sehingga ia tidak bisa memungut sepatu yang terlepas tadi. Bapak tua itu dengan tenang melepas sepatunya yang sebelah dan melemparkannya keluar jendela.

Seorang pemuda yang duduk dalam bus melihat kejadian itu, dan bertanya kepada si bapak tua, “Aku memperhatikan apa yang Anda lakukan Pak. Mengapa Anda melemparkan sepatu Anda yang sebelah juga ?” Si bapak tua menjawab, “Supaya siapapun yang menemukan sepatuku bisa memanfaatkannya.”

Bapak tua dalam cerita di atas memahami betul filosofi dasar dalam hidup. Jangan mempertahankan sesuatu hanya karena kamu ingin memilikinya, atau karena kamu tidak ingin orang lain memilikinya.

Kita pasti pernah kehilangan banyak hal di sepanjang hidup. Kehilangan tersebut pada awalnya tampak seperti tidak adil dan merisaukan, tapi itu terjadi supaya ada perubahan positif yang terjadi dalam hidup kita.

Kalimat di atas tidak dapat diartikan bahwa kita hanya boleh kehilangan hal-hal jelek saja. Kadang, kita juga kehilangan hal baik. Ini semua dapat diartikan supaya kita bisa menjadi dewasa secara emosional dan spiritual, pertukaran antara kehilangan sesuatu dan mendapatkan sesuatu haruslah terjadi.

Seperti si bapak tua dalam cerita, kita harus belajar untuk melepaskan sesuatu. Allah sudah menentukan bahwa memang itulah saatnya si bapak tua kehilangan sepatunya. Mungkin saja, peristiwa itu terjadi supaya si Bapak tua nantinya bisa mendapatkan sepasang sepatu yang lebih baik.

Satu sepatu hilang. Dan sepatu yang tinggal sebelah tidak akan banyak bernilai bagi si bapak. Tapi dengan melemparkannya ke luar jendela, sepatu itu akan menjadi hadiah yang berharga bagi gelandangan yang membutuhkan.

Berkeras mempertahankannya tidak membuat kita atau dunia menjadi lebih baik. Kita semua harus memutuskan kapan suatu hal atau seseorang masuk dalam hidup kita, atau kapan saatnya kita lebih baik bersama yang lain.

Dan pada saatnya, kita harus mengumpulkan keberanian untuk melepaskannya.




Triasna Abu Hasya, Cikarang

amplop titipan ustadz

PERISTIWA ini saya alami sekitar tiga tahun yang lalu. Hanya satu bulan setelah anak saya yang kedua lahir, saya menganggur—perusahaan memberhentikan semua karyawannya (termasuk saya) begitu saja, tanpa memberikan pesangon sepeserpun. Kehilangan pekerjaan, tidak punya tabungan sama sekali, dan dengan orang anak yang masih kecil, sesaat kehidupan kadang kala seperti ingin berhenti.

Suatu pagi, ketika saya sedang menjemur pakaian, itu (dengan mencuci tentunya) merupakan pekerjaan saya pada pagi hari, seorang gadis datang ke pekarangan rumah kontrakan kami dengan tergopoh-gopoh. Matanya berkaca-kaca dan ia bicara dengan suara tangis yang tersendat, “Maaf Pak, saya menganggu…” ujarnya, tanpa basa-basi, “Saya berasal dari Cikampek dan saya hendak ke Plered. Saya kehabisan ongkos. Kalau Bapak berkenan saya ingin menjual kerudung yang tengah saya pakai ini sama Bapak…. Saya sudah tidak punya uang lagi…”

Saya mengernyitkan kening. Bingung bagaimana menanggapinya. Saya kemudian tak urung memintanya untuk menunggu sebentar, dan saya menemui istri di kamar yang tengah menyusui bayi laki-laki kami. Saya terangkan permasalahannya, dan kemudian bertanya padanya, “Kita punya uang berapa lagi sekarang?”

Istri saya menjawab, “Tinggal dua puluh ribu lagi….”

Saya terdiam, namun kemudian berbicara dengan suara sedikit serak. “Bagi dua ya. Kita sedekahkan setengahnya…”

Istri saya setuju. Jauh di lubuk hati saya berpikir keras, cukup apa kemudian Rp. 10 ribu sisanya buat kami untuk kebutuhan satu hari saja? Ada bayi dan seorang anak kecil, dan dua orang dewasa di rumah ini yang perlu makan? Tapi saya tidak berpikir panjang lagi.

Kemudian saya menemui gadis itu yang sudah mencopot kerudungnya. “Berapa lagi yang kamu perlukan untuk sampai ke Plered?” tanya saya.

Jawabnya, “Sekitar Rp. 6000, Pak…”.

“Maaf, ini saya hanya punya segini, semoga bisa bermanfaat…” ujar saya. Gadis itu menyodorkan kerudungnya, “Ini kerudungnya, Pak…”

Saya menggeleng, “Tidak. Kamu pakai kerudung kamu lagi. Bantuan saya tidak ada apa-apanya, hanya semoga saja bisa membantu kamu, setidaknya untuk sampai ke Plered, tujuan kamu…”

Gadis itu menangis lagi, “Terima kasih, Bapak. Saya sudah sejak dari tadi, sudah sejak dari jalan besar sana meminta bantuan, tapi tidak ada yang mau menolong saya… Terima kasih, Bapak…”

Gadis itu permisi. Saya melanjutkan kembali menjemur pakaian dengan otak yang berpikir keras. Uang Rp. 10.000 yang tertinggal bersama kami mungkin akan dibelikan tahu, telur 2, dan sebungkus mi instan. Saya berkata kepada istri saya. “Kamu sama si Teteh (anak perempuan saya yang pertama yang masih berumur 3 tahun) makan sama telur dan tahu. Biar saya makan sama mi saja…”

Istri saya menukas, “Tapi Ayah kan sudah makan mi instan selama tiga hari ini berturut-turut…”

Saya tersenyum, “Untuk periode sekarang, sepertinya nggak apa-apalah dulu. Yang penting kamu sama si Teteh jangan sampai kekurangan gizi dulu…”

Istri saya terdiam, kembali tenggelam menyusui anak kami yang kedua.

Sisa hari itu dilalui dengan biasa saja. Malamnya, saya harus pergi ke pengajian yang letaknya sekitar 4 kilo dari rumah. Saya tidak menggunakan angkot ketika itu karena uang yang tertinggal hanya Rp. 2000 lagi dan saya tinggalkan bersama istri.

Seusai pengajian, ustad yang mengisi pengajian menghampiri saya. “Ini ada titipan dari seseorang…” seraya menyodorkan sebuah amplop. Saya gelagapan, “Dari siapa ya Ustad? Dan titipan apa ini?”

Ustad tersenyum, “Sepertinya uang. Siapa yang memberikannya, tidak perlulah tahu. InsyaAllah, halal dan thoyyib. Katanya ini hanya hadiah saja…”

Saya tidak berkata apa-apa lagi. Di sisi lain saya merasa berat, namun saya juga merasa bersyukur masih ada yang memperhatikan kondisi keluarga saya ketika berada dalam kesulitan. Saya mengucapkan terima kasih dan meminta Ustad untuk menyampaikannya kepadanya.


Di jalan, saya membuka amplop itu ternyata memang berisi uang Rp. 300.000! Subhanallah, itu jumlah yang sangat banyak buat saya. Saya belikan istri martabak telur kesukaan istri dan ketika sampai ke rumah, kami menyantapnya bersama, sementara anak-anak sudah terlelap. Istri saya berujar lirih, “Allah selalu akan mengganti sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan. Mungkin ini berkah dari sedekah tadi pagi yang Ayah berikan…”

Sabtu, 08 Maret 2014

cekidooot

Assalamu'alaikum ;;)

Langsung saja yahh,,,
Beberapa bulan terakhir ini ada banyak hal yang terjadi dengan saya..

Yang pertama, saya punya teman dekat. Dekatnya yah bukan dekat asal dekat, tapi dekatnya care. Kita klop banget. Ini bukan genk, but just togetherness.

Yang kedua, saya mendapatkan nama baru dari teman-teman CharlesDarwin yaituuu "anakecil" duh, but I forgot who someone that gived me name anakkecil. HHH, intinya nama "anakkecil" berhasil booming dan menjadi nama panggilan saya disekolah, guru2 juga memanggil saya dengan sebutan itu, kemudian beberapa adekelas jg memanggil saya dengan itu..

Yang ketiga, saya sedang jatuh cinta. Maksudnya naksir sama seseorang gityu deeh.. Mau tahu?? Yah beli dipasar xD

Yang keempat, saya punya idola baru, namanya RadityaDika.. Semua orang mungkin sudah kenal dia, diaaa itu multitalent.. Sutradara, penulis, aktor, dan stand up komedi.. Semuanyaa Dika sikat.. #salut #kagum #tingkatkanKakDika

The last one (enam), saya punya minuman kesukaan baru. Namanya adalah greentea, atau bahasa kerennya adalah OCHA.. Makanya, akhir2 ini lebih sering beli teh Ocha..

The last (tujuh) sebentar lagi saya menghadapi UN, duhh degdegan nihh. Makanya skrng waktu santai sy jdi berkurang..  Abis itu, insya'Allah lanjut kuliah... Artinya insya'Allah sbentar lagi sy meninggalkankan status "pelajar" menjadi "mahasiswi" aamiin ya Rabb...



#wassalam;;)

Kamis, 06 Maret 2014

FAM

IBU

Sitti Hadiah. Adalah perempuan yang telah meraih gelar luar biasa yaitu Ibu, yang tak akan dialami dan dirasakan kecuali oleh seorang wanita, satu-satunya makhluk ciptaan Allah SWT yang dalam jasadnya dianugerahi amanah yang serupa asma-Nya: rahim. Rahim yang berarti kasih sayang, memanglah iya begitu adanya rahim wanita, yang disetting dengan sempurna oleh Yang Maha Kuasa sebagai tempat paling nyaman bagi janin, tempatnya beroleh asupan makanan ideal, tempat tumbuh kembang yang kokoh, serta perlindungan yang aman sebagaimana Allah SWT mengatakan “fii qororin makiin” (di tempat yang kokoh) yakni rahim.
Ibuku telah melahirkan lima anak selama pernikahannya bersama ayahku. Pahlawanku ini kelahiran Pangkep, 12 Mei 1967 dari rahim seorang perempuan yang bernama Baji. Ibu lahir dengan tanpa ayah karena ayahnya telah berpulang saat Ibu masih di dalam kandungan. Namun, ketika Ibu berusia satu tahun Ibu diasuh dan diangkat menjadi anak oleh saudara nenek yang bernama Lina   hingga Ibu tamat SLTA.

Ibu menyelesaikan pendidikan terakhirnya yaitu program S2 di Universitas Indonesia Timur (UIT) pada tahun 2010 dan meraih gelar Master Of Sains, sebelumnya menyelesaikan pendidikan program S1 di Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan Pembangunan Makassar Indonesia (STKIP PI) pada tahun 2002. Lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Bungoro, Pangkep pada tahun 1986. Lulus sekolah menengah pertama pada tahun 1983 di SMP Negeri 1 Pangkajene, Pangkep. Sebelumnya  tamat sekolah dasar di SD Negeri 8 Tondong Kura, Pangkep pada tahun 1980. Ibu menjadi CPNS/Guru sejak tahun 1988 di SD 22 Bonto Panno dan menjadi PNS pada tahun 1989. Sekarang Ibu menjadi Kepala Sekolah pada salah satu sekolah dasar di Pangkep.


AYAH

Ambo Enre adalah seorang lelaki pemilik mata teduh dan tatapan cinta yang selalu Ibu rindukan. Ayah telah menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah dan mendidik keluarganya.
Ayah lahir dari rahim seorang perempuan bernama Rannu pada 12 Maret 1961. Terlahir dalam keadaan kedua orang tua yang lengkap. Putera ke-5 dari 6 saudara.
Ayah menyelesaikan pendidikan terakhirnya yaitu program S2 di Universitas Indonesia Timur (UIT) pada tahun 2010 dan meraih gelar Master Of Sains, menyelesaikan pendidikan program S1 di IKIP Makassar (sekarang UNM) pada tahun 1993. Sebelumnya D2/Diploma 2 pada tahun 19832. Lulusan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Pangkajene, Pangkep pada tahun 1980. Lulus sekolah menengah pertama pada tahun 1977 di SMP Negeri 1 Pangkajene, Pangkep. Sebelumnya  tamat sekolah dasar di SD Negeri 4 Pa’doang-doangan, Pangkep pada tahun 1974.
Ayah menjadi CPNS/Guru sejak tahun 1983 di SMP  1 Kassi dan menjadi PNS pada tahun 1984. Sekarang Ayah menjadi Kepala Sekolah pada salah satu sekolah menengah pertama di Pangkep.