PERISTIWA
ini saya alami sekitar tiga tahun yang lalu. Hanya satu bulan setelah anak saya
yang kedua lahir, saya menganggur—perusahaan memberhentikan semua karyawannya
(termasuk saya) begitu saja, tanpa memberikan pesangon sepeserpun. Kehilangan
pekerjaan, tidak punya tabungan sama sekali, dan dengan orang anak yang masih
kecil, sesaat kehidupan kadang kala seperti ingin berhenti.
Suatu
pagi, ketika saya sedang menjemur pakaian, itu (dengan mencuci tentunya)
merupakan pekerjaan saya pada pagi hari, seorang gadis datang ke pekarangan
rumah kontrakan kami dengan tergopoh-gopoh. Matanya berkaca-kaca dan ia bicara
dengan suara tangis yang tersendat, “Maaf Pak, saya menganggu…” ujarnya, tanpa
basa-basi, “Saya berasal dari Cikampek dan saya hendak ke Plered. Saya
kehabisan ongkos. Kalau Bapak berkenan saya ingin menjual kerudung yang tengah
saya pakai ini sama Bapak…. Saya sudah tidak punya uang lagi…”
Saya
mengernyitkan kening. Bingung bagaimana menanggapinya. Saya kemudian tak urung
memintanya untuk menunggu sebentar, dan saya menemui istri di kamar yang tengah
menyusui bayi laki-laki kami. Saya terangkan permasalahannya, dan kemudian
bertanya padanya, “Kita punya uang berapa lagi sekarang?”
Istri
saya menjawab, “Tinggal dua puluh ribu lagi….”
Saya
terdiam, namun kemudian berbicara dengan suara sedikit serak. “Bagi dua ya.
Kita sedekahkan setengahnya…”
Istri
saya setuju. Jauh di lubuk hati saya berpikir keras, cukup apa kemudian Rp. 10
ribu sisanya buat kami untuk kebutuhan satu hari saja? Ada bayi dan seorang
anak kecil, dan dua orang dewasa di rumah ini yang perlu makan? Tapi saya tidak
berpikir panjang lagi.
Kemudian
saya menemui gadis itu yang sudah mencopot kerudungnya. “Berapa lagi yang kamu
perlukan untuk sampai ke Plered?” tanya saya.
Jawabnya,
“Sekitar Rp. 6000, Pak…”.
“Maaf,
ini saya hanya punya segini, semoga bisa bermanfaat…” ujar saya. Gadis itu
menyodorkan kerudungnya, “Ini kerudungnya, Pak…”
Saya
menggeleng, “Tidak. Kamu pakai kerudung kamu lagi. Bantuan saya tidak ada
apa-apanya, hanya semoga saja bisa membantu kamu, setidaknya untuk sampai ke
Plered, tujuan kamu…”
Gadis
itu menangis lagi, “Terima kasih, Bapak. Saya sudah sejak dari tadi, sudah
sejak dari jalan besar sana meminta bantuan, tapi tidak ada yang mau menolong
saya… Terima kasih, Bapak…”
Gadis
itu permisi. Saya melanjutkan kembali menjemur pakaian dengan otak yang
berpikir keras. Uang Rp. 10.000 yang tertinggal bersama kami mungkin akan
dibelikan tahu, telur 2, dan sebungkus mi instan. Saya berkata kepada istri
saya. “Kamu sama si Teteh (anak perempuan saya yang pertama yang masih berumur
3 tahun) makan sama telur dan tahu. Biar saya makan sama mi saja…”
Istri
saya menukas, “Tapi Ayah kan sudah makan mi instan selama tiga hari ini
berturut-turut…”
Saya
tersenyum, “Untuk periode sekarang, sepertinya nggak apa-apalah dulu. Yang
penting kamu sama si Teteh jangan sampai kekurangan gizi dulu…”
Istri
saya terdiam, kembali tenggelam menyusui anak kami yang kedua.
Sisa
hari itu dilalui dengan biasa saja. Malamnya, saya harus pergi ke pengajian
yang letaknya sekitar 4 kilo dari rumah. Saya tidak menggunakan angkot ketika
itu karena uang yang tertinggal hanya Rp. 2000 lagi dan saya tinggalkan bersama
istri.
Seusai
pengajian, ustad yang mengisi pengajian menghampiri saya. “Ini ada titipan dari
seseorang…” seraya menyodorkan sebuah amplop. Saya gelagapan, “Dari siapa ya
Ustad? Dan titipan apa ini?”
Ustad
tersenyum, “Sepertinya uang. Siapa yang memberikannya, tidak perlulah tahu.
InsyaAllah, halal dan thoyyib. Katanya ini hanya hadiah saja…”
Saya
tidak berkata apa-apa lagi. Di sisi lain saya merasa berat, namun saya juga
merasa bersyukur masih ada yang memperhatikan kondisi keluarga saya ketika
berada dalam kesulitan. Saya mengucapkan terima kasih dan meminta Ustad untuk
menyampaikannya kepadanya.
Di
jalan, saya membuka amplop itu ternyata memang berisi uang Rp. 300.000!
Subhanallah, itu jumlah yang sangat banyak buat saya. Saya belikan istri
martabak telur kesukaan istri dan ketika sampai ke rumah, kami menyantapnya
bersama, sementara anak-anak sudah terlelap. Istri saya berujar lirih, “Allah
selalu akan mengganti sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan. Mungkin ini
berkah dari sedekah tadi pagi yang Ayah berikan…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar